Tidak ada pilihan, saya dijual dan terpenjara. Hidup saya penuh penderitaan dan hilang harapan. Sampai suatu hari saya menemukan harapan baru.
Mari simak kisah hidup saya.
Menjadi Budak Seorang Imam
Saat berumur tiga tahun, kami pergi ke Bangkok. Disana ibu saya menjual saya secara ilegal kepada seorang imam dengan harga 2.000 baht Thailand (kira-kira Rp. 975.000).
Imam tersebut menjadikan saya budak. Saya dipaksa bekerja.
Setiap hari saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan belajar tentang kepatuhan beragama. Dan jika melakukan kesalahan, saya dikurung selama tiga hari tanpa makan dan minum. Hidup pun terpenjara.
Umur 18 tahun saya hamil oleh imam yang memperbudak saya. Saya melahirkan bayi perempuan.
Begitu juga saat usia 25 tahun, saya melahirkan putri yang kedua. Namun Imam tersebut mengambil kedua putri saya. Dan saya tidak pernah bertemu mereka.
Suara Lembut Yang Berbisik
Ditengah penderitaan yang begitu hebat, saya mendengar bisikan lembut yang mengatakan: ”tidak apa-apa dan tetaplah hidup”. Saya tidak tahu suara siapa itu.
Tetapi suara itu menghibur saya. Suara itu terus meyakinkan saya, “semuanya akan baik-baik saja”.
Suatu malam saya terbangun pukul tiga pagi. Saya mendengar suara yang menyuruh saya melarikan diri lewat jendela. Saya bingung.
Tetapi suara itu berkata: ”sudah waktunya”. Saat saya sedang mempertimbangkan apakah akan melompat karena kamar saya ada di lantai dua.
Meminta Tanda Sebagai Konfirmasi
Tiba-tiba saudara perempuan Imam itu mengetuk pintu. Dia masuk dan membawa seorang anak perempuan sekitar usia tujuh tahun. Saya melihat sekilas wajah anak itu. Dia mirip dengan saya. Saya yakin bahwa dia adalah putri pertama saya.
Setelah melihatnya, saya semakin yakin akan suara itu. Karena sebelumnya saya meminta tanda dengan mengatakan: “jika saya melompat, kamu harus berjanji bahwa saya akan mendapatkan kembali semua yang telah hilang dari saya.”
Melarikan Diri Dan Penderitaan di Amerika
Tidak lama kemudian saya melompat dan melarikan diri. Kemudian saya bertemu dengan seorang wanita.
Wanita tersebut membantu saya untuk berlindung di rumah saudara laki-lakinya yang tinggal di kota lain. Disana ada seorang perwira angkatan darat Amerika Serikat membantu saya untuk melarikan diri ke Amerika.
Setelah sampai di Amerika tepatnya di kota Chicago, pria yang membawa saya ke kota ini menyiksa saya. Saya terkena penyakit HIV dan TBC.
Saya merasa hancur dan putus asa. Semua uang saya habis untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya untuk berobat. Akhirnya petugas mengirim saya kembali ke Bangkok.
Kembali Ke Bangkok Karena Kondisi Saya
Selama tiga bulan, saya merana sendirian di ranjang rumah sakit. Kaki saya lumpuh.
Meskipun saya bisa mendengar, namun tidak bisa bergerak atau melihat. Bahkan saya tidak bisa mengingat siapa saya dan nama saya.
Dalam penderitaan saya diam-diam memanggil banyak dewa. Tetapi tidak ada respon. Kemudian seorang teman dari Amerika berkunjung dan berbicara tentang Yesus. Dia bertanya, “mengapa kamu tidak memanggil Yesus menjadi Juruselamat kamu?”
Saya tidak mengakui bahwa saya telah mendengar satu suara. Namun dalam hati saya berseru kepada Yesus: “jika Engkau bersamaku, datanglah dan selamatkanlah aku!”
Namun, kondisi saya malah memburuk. Para dokter meminta keluarga untuk mempersiapkan pemakaman. Saat itu, ibu saya telah meninggal dunia. Tante saya yang sebelumnya belum pernah bertemu, datang menjemput saya.
Karena takut penyakit saya menular, Tante saya mengisolasi saya di sebuah rumah kecil sambil menunggu hari kematian saya.
Mengalami Mujizat Tuhan
Selama enam minggu saya tidak makan dan juga tidak minum obat. Hanya sedikit air yang Tante saya berikan. Namun anehnya, saya tidak pernah merasa sendirian. Suara yang telah berbicara kepada saya bertahun-tahun yang lalu berbicara lagi: “Hidup”.
Di rumah kecil itu, saya mengerti bahwa itu adalah suara Yesus selama ini. Kemudian saya perlahan-lahan pulih. Luka-luka saya sembuh. Saya kembali bersemangat.
Suatu hari, suara itu berkata kepada saya: “Keluarlah”. Kemudian saya keluar dari rumah kecil itu.
Keluarga saya, penduduk desa, dan para dokter semuanya terkejut. Mereka bertanya: “Apakah ini benar-benar saya atau mungkin saudara kembar identik?”
Seorang pendeta di Bangkok datang. Kemudian saya mengatakan kepadanya bahwa saya ingin belajar lebih banyak tentang Allah yang telah menghidupkan saya kembali. Dan saat itulah saya menyerahkan hidup saya kepada Yesus.
Kembali ke Komunitas
Tidak lama setelah saya lulus, saya merasakan Tuhan memanggil saya untuk kembali ke komunitas semula dimana tempat saya melarikan diri. Belajarlah untuk memaafkan dan mengasihi mereka.
Kedua putri saya ada dalam komunitas tersebut. Mereka tidak ingin mengembalikan putri saya karena saya telah menjadi seorang Kristen. Namun, saya berusaha membangun kembali hubungan dengan mereka.
Saya sering makan bersama mereka. Saya juga sering menemani ibu yang sudah lanjut usia untuk berobat ke rumah sakit.
Kesempatan Untuk Mengampuni Musuh
Sekitar delapan tahun setelah saya kembali ke komunitas itu, imam yang telah memperbudak saya menelepon. Ia mengatakan bahwa ia sedang sekarat karena kanker dan ingin bertemu dengan saya. Saya duduk di sampingnya, ia meminta saya untuk memaafkannya.
Lalu imam berkata: “bisakah Anda memberi saya roti dan kopi?” Sayapun tercengang.
Ia telah menyiksa dan mengurung saya selama bertahun-tahun. Mengapa saya harus memaafkan dan melayaninya? Apa yang sedang saya lakukan?
Kemudian saya teringat Yesus dan Firman-Nya yang mengatakan: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44).
Sayapun segera mengambil roti itu dan memberikannya. Saya merasa damai di hati karena sudah mengampuninya.
Tuhan Menepati Janji-Nya
Sebelum imam meninggal, dia mengembalikan kedua putri saya dan sekarang kami tinggal bersama. Tuhan telah mengubah penderitaan saya menjadi pintu terbuka untuk melayani orang lain.
Saya adalah bukti nyata Tuhan bekerja dengan cara-Nya bahkan sekalipun dalam kondisi yang paling gelap. Tuhan menunjukkan kasih-Nya melalui kehidupan yang penuh makna.
Jika hidupmu ingin mengalami kasih yang sejati dari Yesus, silakan hubungi kami.